Bengkulu – Potensi energi terbarukan di Provinsi Bengkulu kini seperti hidup segan, mati tak mau. Dua pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan empat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang semula diandalkan, kini terbengkalai atau tak beroperasi optimal. Padahal, transisi energi menjadi agenda global untuk mengatasi krisis iklim.

Kondisi ini diungkap dalam riset Kanopi Hijau Indonesia yang dibukukan dalam “Analisis Ancaman Keberlanjutan PLTA dan PLTS di Provinsi Bengkulu”, diluncurkan Selasa (25/3). Buku ini memotret tantangan transisi energi di Bengkulu, di mana PLTA Musi (210 MW) dan PLTA Tes (23,2 MW)—dulu tulang punggung pasokan listrik Bengkulu dan Sumatera Selatan—kini hanya jadi cadangan sejak hadirnya PLTU batubara Teluk Sepang.

Sementara itu, empat PLTS di Kabupaten Mukomuko dan Pulau Enggano—yang pernah menerangi ratusan rumah—kini mati. Penyebabnya, minimnya transfer pengetahuan kepada masyarakat untuk perawatan dan perbaikan.

Ali Akbar, Ketua Kanopi Hijau Indonesia, menyatakan, “PLTA Musi dan Tes terancam karena deforestasi mengurangi pasokan air, sementara PLTS rusak karena tak ada kapasitas masyarakat mengelolanya.”

Adityo Ramadhan, akademisi Universitas Bengkulu, menekankan bahwa buku ini harus jadi policy brief bagi pemangku kebijakan. “PLTA terancam alih fungsi hutan, sementara PLTS gagal karena tak ada pendampingan pasca-pembangunan,” ujarnya.

Agung Budiono dari Yayasan Indonesia Cerah menambahkan, “Energi terbarukan harus berbasis masyarakat, bukan proyek seremonial. PLTS yang mati ini harus direvitalisasi.”

Siswandi, warga Desa Kahyapu di Pulau Enggano, mengeluh: “Setelah PLTS rusak, kami kembali bergantung pada genset solar yang mahal dan tidak stabil.” Padahal, PLTS senilai Rp4 miliar itu bisa mendukung ekonomi nelayan jika difungsikan kembali.

Sutanpri, Kepala SMA Muhammadiyah 4 Kota Bengkulu, berinisiatif membuat kelas mandiri energi. “Kami ingin masyarakat bisa swadaya energi, mulai dari skala rumah tangga,” katanya.