Jakarta – Anggota DPD RI Dapil Provinsi Bengkulu, apt. Destita Khairilisani, S.Farm., M.S.M, bergerak cepat menyampaikan aspirasi guru honorer Bengkulu setelah menerima amanah dari Ketua Aliansi Honorer Provinsi Bengkulu dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/DPD/MPR, Jalan Gatot Subroto, Senin pagi (3/2/2025). Aspirasi tersebut langsung ia sampaikan kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed dalam Rapat Kerja Komite III bersama Kementerian Dikdasmen.

“Pagi tadi saya menerima amanah untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi aliansi honorer Bengkulu agar mereka bisa diangkat menjadi PPPK penuh waktu. Siang ini, dalam Raker Komite III dengan Kementerian Dikdasmen, saya bertemu langsung dengan Pak Abdul Mu’ti dan menyampaikan harapan agar guru honorer berstatus R2 dan R3 bisa mendapatkan kepastian pengangkatan sebagai PPPK penuh waktu,” ujar Destita.

Sebagai senator asal Bengkulu, Destita menegaskan komitmennya dalam memperjuangkan nasib para guru honorer yang masih menghadapi ketidakpastian status kepegawaian mereka. Ia menyoroti pentingnya kesejahteraan bagi para tenaga pendidik, terutama di daerah terpencil dan perbatasan.

“Guru honorer adalah tulang punggung pendidikan di daerah, namun kesejahteraan mereka masih jauh dari kata layak. Banyak di antara mereka yang telah mengabdi bertahun-tahun, bahkan mendekati masa pensiun, tetapi masih belum mendapatkan kepastian pengangkatan sebagai ASN atau PPPK penuh waktu,” ungkap Destita.

Oleh karena itu, ia meminta Kementerian Dikdasmen untuk mendorong percepatan pengangkatan guru honorer menjadi ASN/PPPK penuh waktu. “Saya juga meminta agar Kemendikdasmen membuat kebijakan yang lebih berpihak kepada guru, termasuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan menyusun regulasi yang lebih jelas terkait status kepegawaian guru honorer,” tegasnya.

Menanggapi hal ini, Menteri Dikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan apresiasinya terhadap aspirasi yang disampaikan Destita. Ia mengakui bahwa permasalahan utama dalam pengangkatan guru honorer masih berkaitan dengan regulasi Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan pengangkatan, penempatan, dan pemetaan guru kepada pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.

“Solusi dari masalah ini adalah dengan mengkaji kembali Undang-Undang Otonomi Daerah. Saat ini sudah ada rekomendasi dari Bappenas agar ke depannya pembinaan dan pengangkatan guru dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun, ini masih dalam proses. Mudah-mudahan bisa menjadi kebijakan baru di masa mendatang,” ujar Abdul Mu’ti.

Ia juga menyoroti permasalahan distribusi guru yang masih belum merata meskipun rasio jumlah guru dan murid sudah cukup. Menurutnya, kebijakan terkait guru kerap kali dipengaruhi oleh faktor politik, terutama menjelang Pilkada.

“Banyak kepala daerah yang mengangkat guru sebanyak-banyaknya menjelang Pilkada, lalu setelahnya menyerahkan tanggung jawab kepada kementerian. Selain itu, penempatan guru pun sering kali bernuansa politis, di mana guru yang mendukung kepala daerah tertentu bisa mendapatkan posisi strategis, sementara yang tidak mendukung berisiko dipindahkan ke daerah terpencil,” ungkap Abdul Mu’ti.

Destita berharap agar pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan permasalahan ini demi kesejahteraan para tenaga pendidik dan keberlangsungan pendidikan yang lebih baik di Indonesia.