Bengkulu – Ketua Aliansi Petani Kelapa Sawit (APKS) Provinsi Bengkulu, Edy Masyhuri, menyoroti dampak serius dari kebijakan tarif impor Amerika Serikat sebesar 32% terhadap barang dari Indonesia, khususnya komoditas kelapa sawit. Ia menyebut kebijakan itu dapat memukul sektor hulu industri sawit, yaitu petani.
“Petani sawit adalah ujung tombak. Tarif tinggi dari Amerika akan berdampak langsung ke mereka, apalagi sekarang mereka juga sedang kesulitan akibat turunnya harga TBS secara sepihak oleh pabrik sebelum dan setelah Lebaran,” kata Edy.
Menurutnya, harga tandan buah segar (TBS) yang anjlok memaksa petani mengurangi biaya produksi seperti penggunaan pupuk, jam kerja, hingga pestisida. Kondisi ini akan berdampak buruk terhadap produktivitas kebun dan berpotensi menurunkan kualitas hasil sawit dalam jangka panjang.
“Kondisi ini bisa semakin parah. Bukan tak mungkin ke depan pabrik akan menolak atau membatasi pembelian TBS dari petani swadaya,” tegasnya.
Edy meminta pemerintah bertindak cepat dan tegas. Ia mendesak pemerintah aktif melobi pasar ekspor baru dan bersiap menghadapi regulasi keberlanjutan global seperti EUDR (European Union Deforestation Regulation) yang akan berlaku pada 2026.
“Pemerintah juga perlu menurunkan tarif PE dan BK, serta memperkuat kepastian hukum untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi petani dan pelaku industri sawit,” ujarnya.
Ia juga mengkritik kebijakan DPO (Domestic Price Obligation) dan DMO (Domestic Market Obligation) yang dinilainya belum efektif menjawab masalah harga TBS di tingkat petani.
“Pemerintah seharusnya tidak sibuk beretorika dengan DPO dan DMO. Sampai hari ini harga CPO dunia stabil, tapi petani tetap merugi,” ucapnya.
Edy mengimbau petani sawit agar mulai mempersiapkan diri menghadapi tren harga TBS yang berpotensi terus menurun. Ia menyarankan agar petani menyisihkan sebagian pendapatan untuk perawatan kebun demi menjaga produktivitas jangka panjang.
Selain itu, ia mendorong petani untuk patuh pada regulasi EUDR, termasuk menghindari praktik deforestasi, penggunaan bahan kimia berlebihan, pekerja anak, dan mengutamakan keselamatan kerja.
“Saatnya kita tunjukkan bahwa sawit Indonesia bersih dan berkelanjutan. Kita harus hilangkan stigma dirty palm oil,” pungkasnya.