Oleh : Deni Andrea ( Founder Bengkulu Dynamic )

Jika kita mengenal dengan yang nama nya Negara, maka yang terpikir oleh kita pasti sebuah daerah kekuasaan yang memiliki batas wilayah darat dan laut, aturan yang mengatur, rakyat, dan pimpinan. Sejelas apapun kita memandang wilayah negara tersebut, pasti yang kita temukan adalah perbatasan, begitu juga dengan rakyat, kita menemukan jumlah total rakyatnya, apabila kita memahami aturan secara jelas, maka yang kita temukan adalah batasan melakukan sesuatu hal, begitu juga pimpinan dari negara tidak terlepas dari yang nama nya batasan dalam menjabat, kita mengenal dengan namanya periode jabatan, kalo di Indonesia pergantian periode jabatan pimpinan negara ialah satu kali dalam setiap periode (5 tahun).

Didalam sebuah Negara yang mengandung semua batasan ini, kita sebut saja Indonesia. Dari segi wilayah batasan kekuasaan terkecil dipimpin oleh Ketua RT, diatasnya ada yang namanya Kepala Desa/Kepala Lurah, Bupati untuk wilayah kekuasaan Kabupaten, Gubernur untuk wilayah kekuasan Provinsi dan wilayah kekuasaan tertinggi di ketua oleh satu orang yang biasa disebut di Indonesia adalah Presiden. Dalam hal wilayah kekuasaan ini pasti diatur dalam undang-undang, bagiamana tugas dan fungsinya untuk mengatur wilayah kekuasaan nya sendiri, tidak lain tugas dan tanggung jawabnya ialah bagaimana kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan dan apapun yang berkaitan dengan rakyat harus bisa dirasakan layak oleh rakyat.

Jika kita merasakan hal yang tentram, nyaman, dan damai dalam kehidupan sekitar rumah, maka yang kita rasakan adalah hal yang murni dari sikap dan tanggung jawab pemegang kekuasaan ini. Tidak ada yang merasakan hal yang tidak nyaman dalam berkehidupan, jika semuanya bisa diatur dalam keadaan yang sadar dan bijaksana. Masyarakat yang saling kenal mengenal dalam kehidupan bertetangga, sifat gotong royong yang menjadi simbol dari wilayah kekuasaan terkecil adalah fenomena langka sekarang di Indonesia, tidak ada sesuatu hal dalam bermasyarakat yang tidak dapat terselesaikan karena indahnya bergotong royong dahulu. Silaturahmi terjaga, kehangatan bermasyarakat terlihat, dan yang paling indahnya melihat anak-anak tidak mudah terkontaminas dengan hal-hal yang diluar batas kemauan keluarganya.

Simbol dari masyarakat Indonesia yang indah adalah gotong royong. Istilah ini mungkin sudah kita sering dengar dari penjuru indonesia manapun. Gotong royong dalam menyelesaikan semua hal adalah kunci dari masyarakat yang menginginkan keindahan dalam berkehidupan bertetangga, tanpa merasakan kecemasan, kekhawatiran, ataupun ketakutan dalam menghadapi apapun dalam kehidupan bermasyarakat. Juga alangkah indahnya menyatu kehangatan tugas dan tanggung jawab pemegang kekuasaan diwilayah tersebut.

Pemegang kekuasaan kalo saya bilangnya, atau pemerintah inilah juga menjadi kunci semua elemen yang terdapat diwilayah itu menjadikan suasana tanpa mencekam dan tidak takut akan masalah apapun yang mengancam masyarakat hidup. Bisa itu masalah sosial, kesehatan, budaya, pendidikan, ekonomi, tidur dan makan tidak memikirkan hal-hal yang buruk untuk keesokan harinya. Semua masalah ini bagian dari bentuk peran dan tanggung jawab pemerintah itu sendiri.

Sekarang kita lihat dan merasakan hidup layak adalah sebuah harapan yang mungkin masyarakat kecil jauh bisa menggapainya, banyak hal-hal yang tidak bisa dirasakan oleh mereka. Bagaimana mendapatkan kesehatan yang layak, tapi tidak bisa dirasakan sepenuh hati, padahal rumah sakit sudah dibangun dan dilengkapi oleh yang namanya dokter, perawat dan bahkan alat-alat yang modern.

Pendidikan yang layak, nyaman untuk belajar anak-anaknya, ternyata hanyalah sebuah khayalan ketika bangunan sekolah itu berdiri dengan gagah dan banyak anak-anak mereka tidak bisa menempuh pendidikan itu karena dipilihkan oleh pilihan yang tidak seharusnya dipilih oleh masayarakat kecil. Belum lagi soal-soal lain yang menyangkut dengan apa yang seharusnya rakyat bisa dapatkan, sesuai dengan janji-janji manis pejabat mereka dikala kampanye yang berteriak “kepentingan rakyat adalah prioritas”. Namun prioritas yang rakyat rasakan adalah kepedihan, kegetiran, bahkan kematian akan susahnya mencari makan untuk keluarganya.

Seperti yang diungkapkan Yai Tohar dalam bukunya yang berjudul Demokrasi Para Perampok, pemilu saat ini seperti halnya transaksi jual-beli dipasar, dengan massa mengambang yang terpesona oleh janji manis dan pencitraan kosong. Penguasa memanfaatkan media sosial sebagai alat manipulasi, mengontrol narasi publik dengan retorika emosional. Media, yang seharusnya menjadi pilar keempat  demokrasi, justru diperalat untuk melemahkan oposisi dan mengukuhkan kekuasaan.

Demokrasi yang kita cita-cita kan adalah sebuah demokrasi yang ideal. Kenyataan yang rakyat rasakan akan demokrasi adalah memang bagaikan harapan yang tak kunjung datang. Namun, sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan selalu datang akan prosesnya dari kesadaran yang kolektif, terutama bagi pejabat atau pemangku jabatan. Kita harus mengingat bahwa demokrasi bukanlah tentang suara yang mayoritas, melainkan lebih dari itu. Tanggung jawab moral untuk keberlanjutan bangsa yang meliputi kesejahteraan dan layak-selayaknya rakyat harus hidup aman, nyaman dan tentram.

Ditengah kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sekarang ini, tidak bisa terlepas dari realtias paradoks, solusi cepat mungkin mustahil dirasakan langsung oleh masyarakat. Di balik setiap paradoks, selalu ada peluang untuk memperbaiki dan mencerahkan kehidupan. Disaat kegetiran dan kepedihan yang melanda masyarakat seharusnya pemerintah menjadi orang terdepan, setidaknya apa yang mereka rasakan sedikit terobati.

Seharusnya tanggung jawab dan peran pemerintah bisa benar-benar murni dirasakan oleh masyarakat luas, bukan masyarakat yang bermukim di Kota aja yang bisa merasakan, tapi masyarakat desa yang jauh akan perkotaan, yang hidupnya hanya cukup untuk makan sehari, bahkan bisa tidak bisa makan dalam 2 hari lebih, seharusnya pemerintah hadir dan melakukan tanggung jawab dan perannya.

Apa yang sebenarnya kita cari di Dunia ?, harta kekayaan ?, apakah dibawa mati ?, kan bukan. Padahal sudah jelas bunyi Pasal 33 Ayat 3 Undang-undang Dasar 1945, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasasi oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat. Bila kata Cak Nun, “ayat ini adalah doa sekaligus deklarasi bahwa siapa pun yang menjabat dalam pemerintahan negara wajib mendahulukan kepentingan rakyat.

Setiap pergantian kekuasaan negara bertujuan mendistribusikan rahmat Tuhan berupa kekayaan alam supaya rakyat menjadi makmur merata hingga generasi penerus. Tetapi, apa yang terjadi jika satu periode pemerintahan korup dan justru menguras sumber daya alam, maka akan mewariskan beban kepada pemerintahan berikutnya dan kemakmuran rakyat akan semakin sulit terwujud”.

Tanpa kita sadari bahwa kehidupan tanpa gotong royong, semuanya menjadi susah. Hanya Maha Segalanya yang dapat melakukan nya sendiri dan kita hanyalah manusia yang Maha Membutuhkan Pertolongan saja angkuh, penuh ke aku-an, dan sombong akan jabatan yang dimiliki, bahkan merasa bahagia ketika berucap kasar saat merasa menang, hitung-hitungan sudah pasti akan sesama manusia, merasa paling congkak, dan tidak mau kalah,,, ya maunya hanya menang.

Dalam realitas yang terjadi sekarang ini, apa benar-benar pemerintah masih bersama masyarakat ?, suatu pertanyaan yang mendalam dari seorang bapak-bapak diwarung kopi, yang saya jawab dengan air mata.