Jakarta – Fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan oleh Sekjen International Union for Muslim Scholars (IUMS), Syekh Ali Al-Qaradaghi, Senin (7/4/2025), dinilai berpotensi memicu gelombang radikalisme baru.
Guru Besar Ilmu Fiqih Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Khamami Zada, menilai fatwa tersebut lebih bernuansa politis dan kecil kemungkinan mampu menyatukan dunia Islam untuk melawan Israel secara kolektif. Menurutnya, perbedaan kepentingan ekonomi, politik, dan ideologi antarnegara Islam menjadi penghalang utama.
“Negara-negara seperti Arab Saudi, Turki, dan Mesir akan selalu mempertimbangkan kepentingan domestik. Itu yang membuat dunia Islam lemah dan tidak solid,” ujar Khamami di Jakarta, Jumat (11/4/2025).
Ia menyebut hanya Iran dan Lebanon yang menunjukkan sikap berani terhadap Israel, meski konsekuensinya harus berhadapan langsung dengan Amerika Serikat.
Sebagai pakar kajian radikalisme, Khamami mengingatkan bahwa fatwa jihad semacam itu justru berisiko menyulut kemarahan umat Islam di berbagai negara dan melahirkan radikalisme baru. “Frustrasi terhadap lemahnya posisi dunia Islam bisa mendorong aksi-aksi ekstrem. Ini harus diwaspadai, termasuk oleh Indonesia,” tegasnya.
Ia meminta agar fatwa jihad tidak dijadikan pembenaran untuk aksi vandalisme atau teror terhadap fasilitas asing maupun negara, seperti yang terjadi dalam berbagai insiden sebelumnya.
“Kita berharap Presiden Prabowo Subianto dapat mengambil langkah bijak dan tepat dalam merespons situasi Israel–Palestina. Jangan sampai solidaritas berubah jadi ancaman bagi stabilitas dalam negeri,” kata Khamami.
Diketahui, IUMS mengeluarkan 15 poin fatwa yang menegaskan kewajiban jihad melawan Israel. Poin-poin tersebut mencakup larangan menyuplai sumber daya ke Israel, seruan membentuk aliansi militer bersama, boikot terhadap perusahaan pendukung Israel, hingga dorongan bagi persatuan umat Islam dan dukungan kemanusiaan untuk Gaza.